25.12.11

Hukum Hanya Milik Allah Semata

(BAGIAN 15)
HUKUM HANYA MILIK ALLAH SEMATA
 
Allah menciptakan makhluk dengan tujuan agar mereka beribadah kepadaNya semata. Ia mengutus para rasulNya untuk mengajar manusia, lalu menurunkan kitab-kitab kepada mereka, sehingga bisa memberikan hukum (putusan) yang benar dan adil di antara manusia. Hukum tersebut tercermin dalam firman Allah Ta'ala, dan dalam sabda Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam. Hukum-hukum itu mengandung berbagai masalah. Di antaranya ibadah, mu'amalah (pergaulan antar manusia), aqa'id (kepercayaan), tasyri' (penetapan syari'at), siyasah (politik) dan berbagai permasalahan manusia lainnya.
  1. Hukum dalam aqidah:
    Yang pertama kali diserukan oleh para rasul adalah pelurusan aqidah serta mengajak manusia kepada tauhid.
    Nabi Yusuf misalnya, ketika berada di dalam penjara beliau menyeru kedua temannya kepada tauhid, ketika keduanya menanyakan padanya tentang ta'bir (tafsir) mimpi. Sebelum nabi Yusuf menjawab pertanyaan keduanya, ia berkata:

    "Hai kedua penghuni penjara, manakah yang lebih baik, tuhan-tuhan yang bermacam-macam itu ataukah Allah Yang Mahaesa lagi Mahaperkasa? Kamu tidak menyembah yang selain Allah kecuali hanya (menyembah) nama-nama yang kamu dan nenek moyangmu membuat-buatnya.
    Allah tidak menurunkan suatu keterangan pun tentang nama-nama itu. Hukum (keputusan) itu hanyalah kepunyaan Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui." (Yusuf: 39-40)
     
  2. Hukum dalam ibadah:
    Kita wajib mengambil hukum-hukum ibadah, baik shalat, zakat, haji dan lainnya dari Al-Qur'an dan hadits shahih, sebagai realisasi dari sabda Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam:

    "Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat" (Muttafaq alaih)

    "Ambillah teladan dariku dalam tata cara ibadah (hajimu)." (HR. Muslim)

    Dan merupakan penerapan dari ucapan para imam mujtahid, "Jika hadits itu shahih maka ia adalah madzhabku."
    Bila antara imam mujtahid terjadi perselisihan pendapat, kita tidak boleh fanatik terhadap perkataan seseorang di antara mereka, kecuali kepada yang memiliki dalil shahih yang bersumber dari Al-Qur'an dan As-Sunnah.
     
  3. Hukum dalam mu'amalah:
    Hukum dalam mu'amalah (pergaulan antarmanusia), baik yang berupa jual beli, pinjam meminjam, sewa-menyewa dan lain sebagai-nya. Semua hal tersebut harus berlandaskan hukum (keputusan) Allah dan RasulNya. Hal ini berdasarkan firman Allah:

    "Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman sehingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya." (An-Nisaa': 65)

    Para mufassir, dengan menyitir riwayat dari Imam Al-Bukhari menyebutkan, sebab turunnya ayat di atas adalah karena sengketa masalah irigasi (pengairan) yang terjadi antara dua sahabat Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam. Lalu Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam memutuskan bahwa yang berhak atas irigasi tersebut adalah Zubair. Serta merta lawan sengketanya berucap, "Wahai Rasulullah, engkau putuskan hukum untuknya (maksudnya, dengan membela Zubair) karena dia adalah anak bibimu!"
    Sehubungan dengan peristiwa tersebut turunlah ayat di atas.
     
  4. Hukum dalam masalah hudud (hukuman yang ditetapkan untuk memenuhi hak Allah) dan qishash (hukum balas yang sepadan):
    Hal ini berdasarkan firman Allah Ta'la:

    "Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At-Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi dan luka-luka (pun) ada qishashnya. Barangsiapa yang melepaskan (hak qishash)nya maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zhalim." (Al-Maa'idah: 45)
     
  5. Tasyri' (penetapan syari'at) adalah milik Allah semata:
    Allah berfirman:
    "Dia telah mensyari'atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkanNya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu." (Asy-Syuura: 13)

    Allah menolak orang-orang musyrik yang memberikan hak penetapan hukum kepada selain Allah. Allah berfirman:
    "Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyari'atkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan oleh Allah?" (Asy-Syuura: 21)
KESIMPULAN:
Setiap umat Islam wajib menjadikan Al-Qur'an dan As-Sunnah yang shahih sebagai hakim (penentu hukum), merujuk kepada kedua-nya manakala sedang berselisih dalam segala hal, sebagai realisasi dari firman Allah:
"Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan oleh Allah." (Al-Maa'idah: 49)
Juga penerapan dari sabda Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam:
"Dan selama para pemimpin umat tidak berhukum kepada kitab Allah, dan memilih apa yang diturunkan oleh Allah, niscaya kesengsaraan akan ditimpakan di tengah-tengah mereka." (HR. Ibnu Majah dan lainnya, hadits hasan)
Umat Islam wajib membatalkan hukum-hukum (perundang-undangan) asing yang ada di negaranya. Seperti undang-undang Perancis, Inggris dan lainnya yang bertentangan dengan hukum Islam.
Hendaknya umat Islam tidak lari ke mahkamah yang berlandaskan undang-undang yang bertentangan dengan Islam. Hendaknya mereka mengajukan perkaranya kepada orang yang dipercaya dari kalangan ahli ilmu, sehingga perkaranya diputuskan secara Islam, dan itulah yang lebih baik bagi mereka. Sebab Islam menyadarkan mereka, memberikan keadilan di antara mereka, efisien dalam hal uang dan waktu. Tidak seperti peradilan buatan manusia yang menghabiskan materi secara sia-sia. Belum lagi adzab dan siksa besar yang bakal diterimanya pada hari Kiamat. Sebab dia berpaling dari hukum Allah yang adil, dan berlindung kepada hukum buatan makhluk yang zhalim.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar